Kamis, 15 Februari 2018

Pesan Dari Masa Depan

illustrasi suasana malam - shutterstock.com



“Saat seperti ini biasanya kami menonton hiburan keluarga bersama – sama, terkadang nenekmu terlambat mempersiapkan makan malam, jadi kakek sering kali kerap membantu nenek memasak, istilahnya membantu memasak hahaha”. Ayah tertawa bahagia setiap menyeritakan kenangan dengan kedua orang tuanya yang juga adalah kakek nenekku.

Terbesit tanya dalam diriku kenapa ia tertawa dengan hal yang sama sekali tidak ada sedikitpun unsur kelucuan dalam cerita itu.

Kemudian ayah melanjutkan ceramahnya “Kakek mu tak pernah sedikitpun membantu memasak secara benar, yang kulihat dia hanya bercanda dengan nenekmu dan beberapa kali mencicipi masakan saat dimasak bahkan terkadang bahan makanannya yang belum ia olah terus memenuhi mulutnya, namun nenekmu selalu memberi nasihat kepadaku bahwa jadilah anak laki – laki seperti ayahmu”.

Ayah menyeruput susu panasnya, aku pun khusyuk mendengarkan cerita tersebut sembari menelan sesendok demi sesendok bubur hangat dan telur rebus buatan ayah, tak lupa suasana hangat didepan tungku dengan kayu bakar yang masih menyala.

Sekali dua tegukan susu panas sudah meluncur ke perut ayah, kemudian ayah mulai membuka mulut kembali “pada saat itu, ayah dan Paman Wirya tidak terlalu suka dengan kakekmu, bahkan saat nenekmu memberi nasehat untuk jadi seperti kakekmu langsung ayah bantah, “ayah itu kejam”, tapi ibu menanggapinya hanya dengan senyuman”

“Memangnya kakek kejam yah? Berbanding terbalik dengan cerita Paman Wirya”.

“Kakekmu, selalu menghukum berat ayah jika terlalu sering membuang waktu, seperti bermain permainan digital, menonton video, dan bergaul dengan teman yang tidak baik. Semua teman ayah hampir semua melakukan hal yang sama, sampai saat di sekolah, pernah ayah menceritakan apa yang terjadi pada ayah saat malam hari, mereka semua tertawa dan mengejek bahwa nasib ayah terlalu jelek, mempunyai seorang ayah yang kejam, begitu juga dengan Pamanmu Wirya”. Ayah menghentikan ceritanya, dan sedikit terlihat keluar air mata yang dengan cepat ia usap.

Tapi, ekpresi muka tersebut adalah muka bahagia bukan sebuah kemarahan. Setelah beberapa seruputan susu hangat, ayah melanjutkan ceritanya “Ayah bercerita kepada semua teman sekelas, mereka tertawa karena ternyata hanya ayah yang mengalami nasib sial, terkadang ayah diikat di dekat tangga rumah, terkadang ayah digantung di tali jemuran. Tentu ayah meronta tak terima dan menangis, namun kakekmu tak bergeming dan hanya memandang serius buku ditangannya, sesekali meliriku mungkin agar ayah tak melakukan hal nekat, hanya satu malaikat yang selalu menolong ayah yakni nenekmu yang tak tahan dengan jeritanku”.

“Setiap kali ayah diselamatkan oleh nenekmu, kakekmu selalu berkata Hindan jika kamu ulangi lagi aku tambah waktu hukumanmu”.

Aku meletakkan mangkok yang sudah tidak ada isinya lagi, bubur lezat semuanya kulahap. “enak buburnya Yan?” Tanya ayah. Aku jawab dengan anggukan dan senyuman. Kemudian dia menyodorkan gelas penuh dengan  susu hangat. Kuminum perlahan – lahan. Setelah puas merasakan nikmat duniawi, aku menanggapi cerita ayah tersebut, “Kalo seperti itu apa bedanya ayahku dengan kakekku?”

Ayah tersenyum “Kamu lah bedanya, ayah memandang kakekmu itu jahat nan kejam karena dia yang selalu teguh akan kebenaran dan kebaikan. Memang tak lazim, anak – anak diperlakukan seperti itu dulu di zaman ayah. Ayah merasa menjadi anak paling tidak beruntung karena sikap ayah yang melampaui batas dengan membatasi setiap kesenanganku. Untung saja ada malaikat yakni nenekmu”

“Terpaksa ayah turuti kemauan kakekmu karena takut dihukum, setiap melanggar aturannya hukuman menjadi semakin berat. Tapi untung saja kakek tetap tahu akan hak anak untuk bermain dengan batasan ala kakek tentunya. Hari ke hari ayah turuti kemauannya, mulai pudar sosok kejam nan jahat itu”.

“Kakek sudah tidak menghukum lagi?” aku potong cerita ayah.

“Tidak, dia tetap menghukum anaknya yang bersalah. Tapi karena ayah sudah jarang melanggar aturannya, jadi jarang kena hukuman haha”. Dia tertawa sambil mengelus punggungku.

“Sampai ayahmu ini berumur delapan belas tahun tepat pada hari ulang tahun ayah. Kakekmu memberikan hadiah terbaik sepanjang hidup ayah”.

Aku semakin tertarik dengan cerita ayah karena kulihat juga bahwa wajahnya semakin bahagia saat menceritakan pada bagian tersebut.

“Kakek memberikan hadiah berupa pelukan hangat dan ciuman sembari berkata, maafkan ayahmu ini Hindan, yang telah membuatmu menderita dan mengekangmu sehingga tak seperti anak – anak lainnya. Sekarang kamu bebas bertindak sesuai keinginanmu dan memilih jalanmu sendiri tanpa ada takut bahwa ayahmu ini akan menghukum kamu”. Lanjut ayah menceritakan momen berharga dalam hidupnya.

“Tentu ayah sudah tahu maksud perkataan kakekmu tersebut, tak ada kesalahan sedikitpun dari kakekmu dalam mengajarkan kebaikan dan kebenaran sejak ayah kecil walaupun itu keras. Karena apa? Karena ayah menjadi terbiasa melakukan hal – hal baik meskipun awalnya ayah melakukannya karena takut dari hukuman kakekmu tapi lama – lama sifat baik tersebut mendarah daging dalam diri ayah. Seharusnya ayahlah yang selalu meminta maaf karena ayah selalu berbuat yang membuat kakekmu marah, tapi karena jarang sekali kakekmu meminta maaf jadi kunikmati momen tersebut haha”. Ayah tertawa lebar.

Aku tidak paham benar dengan ucapan ayah tersebut, tapi aku selalu tertarik dengan kehidupan masa kanak – kanak ayah yang penuh dengan berbagai alat main dan sering membuat ia terkena murka Sang Kakek. Walaupun aku sudah kenyang, tapi tak akan kulewatkan pisang bakar yang hampir matang. Sembari menunggu, aku bertanya “yah, video itu apa? Sama dengan peragaan boneka dari Kang Amir?”

Ayah tersenyum dan berkata “itulah tadi kenapa aku bilang, kamu berbeda dari ayah. Ayah hidup dimasa yang apabila anak kecil manapun melihatnya pasti ingin bertukar tempat. Bisa dibilang surganya anak – anak, dimanapun kami bisa bermain dengan alat canggih. Berhubungan dengan orang jauh tanpa harus menuju ke tempatnya dan tak ada lagi sosok seperti Kang Amir. Kamu pernah dipukul dia kan? Kamu menganggapnya kejam?”

“Tidak yah, Daru dan Iwan juga dipukul karena kami memang tidak hafal bacaan shalat”.

“Bagus, nanti kalo sampai ada keluhan dari Kang Amir ke ayah lagi, tiga hari berturut – turut kamu tidak akan minum susu”. Tanggap ayah.

Aku hanya diam dan mengiyakannya, toh juga tidak bisa bohong karena Kang Amir selalu bercerita ke orang tua anak – anak yang belajar dengannya tentang perilaku kami semua.

“Di masa ayah, orang seperti Kang Amir ini yang malah akan dihukum. Untung saja ayah masih memiliki Kakekmu yang kejam itu, sehingga ayah tahu bahwa dunia bukanlah surga”.

Lalu dia mengambil mangkok kosong yang telah kupakai dan berkata “pisangnya sudah matang bisa kamu angkat dan makan, setelah itu cuci kaki dan beranjak tidur”.




2 komentar: