Rabu, 21 Maret 2018

Lima Ribu Rupiahku Menaklukan Hedonisme Perkotaan


Pancaran matahari sore kian menghilang ditelan gelapnya malam. Itu adalah tanda untuk manusia agar segera beristirahat dari sibuknya hiruk pikuk aktivitas sehari - hari yang dijalani.

Pada hari itu, suasana sangat lah menakjubkan begitu cerah. Aku putuskan untuk mencari angin segar dengan teman hijau beroda dua favoritku setelah lelah menatap layar delapan jam lebih sembari menggerakkan jari jemari menulis sesuatu yang tak penting.

Terlintas dipikiran bahwa hari itu, mungkin menyusuri rel kereta api sembari melihat pemandangan perkampungan padat yang unik.


***

Tujuan telah ditentukan, saatnya memacu semangat teman hijau agar kembali melaju. Dalam terpaan sinar oranye khas matahari terbenam dari ufuk barat, Si Hijau makin terlihat kece jika selalu kurawat. Sayangnya saat ini ia dalam kegundahan karena otot kirinya kesleo dan belum mampu kuobati.

Sembari menunggu mesin Si Hijau siap dan panas, aku lihat banyak orang sedang asyik bermain voli. Tua, muda, laki - laki, perempuan, semua larut dalam kesenangan memainkan hobi mereka. Sejenak kulihat mereka, jadi teringat dengan suasana di desa. Dengan hobi yang sama mampu menyatukan keakraban antar warga dan melupakan sejenak trend sosialita yang telah menggrogoti jiwa - jiwa.

Tak ada bau menyengat lagi dari lubang pembuangan SI Hijau, menandakan bahwa dia sudah siap untuk dipacu. Hati - hati kukendarai Si Hijau karena sepatunya pun sudah usang ditambah jalanan komplek yang berkhiaskan kolam - kolam. 

Tak lama kemudian, sudah terlihat jalanan kerikil dengan sisi kiri adalah rel kereta api yang dibangun lebih tinggi  dibandingkan jalan kerikil yang akan kulewati tersebut. Pemandangan luar biasa pada hari itu membuatku takjub, lurus mata memandan kulihat hantaran langit oranye dengan khiasan pesawat terbang yang terbang rendah kearahku, di samping kanan juga terlihat atap - atap rumah yang berwarna apik akibat terpaan sinar matahari sore. Laksana ada malaikat yang membantu mewarnainya. Acap kali ada kereta yang lewat pula dengan getaran keras dan menimbulkan hembusan angin kencang, seringkali membuat Si Hijau oleng.

Namun, pemandangan indah tersebut menyimpan ancaman yang sangat mematikan daripada hutan belantara. Disini, dikota ini mampu merubah orang laksana malaikat menjadi pelindung setan. Pengaruh kuat hedonisme akan membuat jiwa - jiwa murni anak - anak desa rusak, namun bagi siapa yang dapat mengalahkannya dia akan menaklukan kota tersebut.


***
Seiring waktu berjalan, ada bunyi dari perutku yang cukup keras. Memang pantas karena pada saat itu aku baru memakan tiga butir kerupuk dan segelas air putih. Kurogoh saku celana, ternyata ada uang lima ribu rupiah, uang yang tidak banyak bagi banyak orang. Tapi bagiku itu adalah karunia yang banyak dari ilahi tanpa harus aku melukai atau mengambil hak orang lain.

"Hmmm lima ribu"
"Nasi telur? kurang"
"Apalagi bakso mie ayam, makin tak terbeli"

Perang batin akibat lapar, dan difikiran hanya ada "Makan apa?". Pada hari itu aku gagal kembali dalam ujian tuhan.

Akhirnya, aku lihat ada tenda angkringan yang baru buka. Aku tersenyum, karena aku bisa kenyang walau hanya dengan lima ribu rupiah.

Di tenda angkringan tersebut, ternyata menyediakan makanan favoritku yakni singkong goreng. Dengan lima ribu rupiah, akhirnya bisa kubeli nasi kucing, dua buah gorengan, dan empat singkong goreng.

"Maaf ya bu, saya memilih singkong yang besar besar, buat buka puasa"
Ibu pemilik angkringan menjawab "Hari Jum'at puasa mas?"
"Hehe iya bu kepaksa"
"Yang besar - besar harganya sama kan bu?" 
"Iya mas, rejekimu. Eh kepaksa kenapa ya mas?"
"Kepaksa rejeki lima ribu perhari bu haha" aku ketawa.
Kemudian aku lanjutkan "Yang penting halal ya bu"

Setelah kata terakhirku tersebut, Si Ibu Penjaga angkringan rasanya tak tega untuk tanya lebih lanjut.

"Iya mas yang penting halal dan selalu berusaha nanti juga akan berbuah manis"

Kemudian ibu penjaga angkringan tersebut menyodorkan teh hangat kepadaku. 

Sontan aku tolak "Maaf bu aku ga pesan, lagian nanti uangnya bakal kurang"

"Tak apa mas, gratis tis tis" Si ibu tersenyum.

Dalam keadaan angkringan yang masih sepi, mungkin karena orang pada umumnya memilih makan berat di tempat makan dengan makanan yang enak atau mungkin juga moment untuk nangkring belum pas.

Si ibu angkringan mulai bercerita tentang masa lalunya di kota ini.

"Saat itu, saya masih belum memiliki tempat tinggal dan belum mempunyai usaha. Saya dan suami memberanikan diri untuk pergi ke kota mengadu nasib tanpa membawa modal apapun. Untungnya pada saat itu belum ada mesin - mesin canggih, jadi ibu bisa menawarkan jasa mencuci pakaian."

"Suami saya juga sangat giat dalam beruasha, pekerjaan apapun yang membutuhkan tenaga kasar seperti reparasi rumah, mengatasi tikus, sampai buang sampah, beliau lakukan walau tak jarang tidak mendapatkan upah."

"Saya sempat marah kepada suami saya, karena sepertinya ia melakukan hal yang sia - sia."

"Tapi beliau menjawab dengan jawaban yang tak bisa saya lupakan sampai saat ini. Tak ada yang sia - sia asalkan kita menanam kebaikan, nanti juga akan panen kebaikan, toh juga kita tidak akan mati kelaparan dengan tindakan tersebut"

"Karena cinta dan sangat percaya kepada suami, saya turuti hidup serba kekurangan seperti itu. Tapi lama - lama kebaikan suami saya membuahkan hasil. Banyak rejeki tak terduga, seperti bantuan sembako dari orang - orang yang pernah dibantunya, bantuan keuangan, dengan begitu kami bisa menabung untuk memulai membuka usaha."

"Angkringan ini lahir setelah lima tahun kami menabung. Kebaikan suami saya juga berbuah manis dengan mudahnya perijinan tempat dan banyaknya pembeli dari warga sekitar. Akhirnya dengan usaha seperti ini kami bisa membangun rumah sendiri walaupun tak besar dan mampu mencukupi kebutuhan sehari - hari"

"Sayangnya suami saya tak lama mengecapi kenikmatan tersebut, karena beliau meninggal tak lama setelah angkringan kami buka, delapan tahun yang lalu."

"Tapi benar mas, mencari rejeki jika dilandasi dengan prinsip halal dan jujur serta tak kenal lelah, hasilnya akan sangat manis walau sedikit dan pelan. Saat suami saya meninggal, walaupun kami orang perantauan tapi banyak sekali pelayat yang datang dan banyak yang tidak saya kenal."

Selama ibu bercerita sembari membakar gorengan dan singkong, tak sekejap pun aku potong. Khusuk mendengarkan cerita hebat tersebut dibalik warung angkringan sederhana ini.

Ibu melanjutkan pembicaraan "Mau tahu berapa omset angkringan kecil ini mas?"

"Berapa bu?"

"Tiga sampai empat jutaan perbulan"

Saya rasa angka tersebut merupakan jumlah yang besar untuk mencukupi hidup di kota. Tidak kusangka, beliau bisa mendapatkan keuntungan dari jualan dengan harga - harga yang sangat merakyat.

"Pesen saya mas, mumpung masih muda manfaatkan dengan baik tapi selalu dengan prinsip jujur dan halal tersebut, insya Allah akan berbuah manis"

Hari yang memuaskan, perut kembali terisi ditambah dengan teh manis dan cerita hebat yang semakin membuat semangat agar selalu berharap rahmatnya dan tidak termakan kehidupan Hedonisme perkotaan.

***

Tak disangka, petualanganku yang sebentar tersebut telah menghasilkan ilmu tambahan dari orang yang tidak dikenal namun sangat berpengalaman nan baik. Berpetualang dan hidup dengan uang lima ribu rupiah ternyata kota yang menakutkan itu, tak berhasil membunuhku.

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10).

Apalah arti dari Midas yang bisa merubah benda yang disentuhnya menjadi emas, bahkan makanannya. Alhasil dia pun tak bisa makan.

Apalah arti kaya jika ia lupa. Tsa'alabah yang kaya raya, harta bendanya tak ada yang mau menerima. 

0 Komentar:

Posting Komentar