Apa kabar teman? Pastinya baik – baik saja yaa kan. Rumah
kalo kotor dan tak terawat rasanya bikin risih dan bahkan horror ya, seperti
blog ini yang tak terawat membuat mata batin ini perih dan penat di kepala.
Setelah beberapa bulan tak ku update blog yang sepi
pengunjung ini, akhirnya saya ada waktu, eh bukan waktu sih tapi aku berhasil
mengalahkan rasa malasku. Semua kejadian, pemandangan, suasana, dan ironi
kehidupan di dunia ini aku tampung pada otakku sendiri yang kapasitasnya tak seberapa
dan barang kali beberapa momen menarik sudah hilang dari ingatan. Oleh karena
desakan itu pula, mau tidak mau harus ku abadikan melalui coretan fisik maupun
digital.
Oke tak perlu lama – lama basa – basi nya. Karena saya
adalah warga Indonesia yang baik hati, diantaranya adalah sudah membayar aneka
bill untuk negara yang selalu lunas dan berbagai kewajiban yang harus dijalani,
jadi jangan ngejudge siapa yang paling Indonesia ya.
Loh itu yang akan dibahas? Kok berat ya topiknya?
Bukan itu kok yang akan dibahas dan lagi kalo dibahas itu
bukan topik yang berat juga kok, setelah ribuan tahun kita ber – manusia masih
menganggap kebangsaan adalah hal yang berat untuk dibahas? Kalau politik iya,
karena perdebatan itu tak akan ada ujungnya semakin di gosok semakin mengangkat
gairah nafsu yang lebih besar. Maka kesampingkanlah hal kebangsaan dari
perpolitikan, maka tak bakal ada yang berkata “Saya Lebih Indonesia”. Menurut
hemat saya warga Indonesia adalah mereka yang menunaikan kewajibannya sebagai
warga negara dan mentaati peraturan yang telah disepakati.
Namun negara tak berhak untuk mengekang pikiran manusia
dalam bereksplorasi dan berekspresi dalam menemukan jati diri masing – masing
individu. Sayangnya beberapa kelompok menekankan konsep kebangsaan dengan sikap
yang militant dan tak toleran. Apa salahnya sih belajar niaga dengan konsep
tiongkok? Belajar disiplin dengan konsep Jerman People? Belajar gigih dengan
konsep orang Jepang? Belajar ikhlas dengan konsep Middle East People? Belajar
rendah hati dengan konsep orang Pakistan? Belajar hidup sederhana dengan konsep
orang papua? Belajar ramah tamah dengan konsep orang jawa? Dan sebagainya. Adakah
hal tersebut akan merusak tatanan hidup bangsa Indonesia?
Itulah beberapa pertanyaan yang sering terngiang dalam pikir
yang belum ku temukan jawabannya.
Kamu itu sahabat gurun, kamu itu antek cina, dan lain –
lain. Saya sangat risih dengan perkataan – perkataan itu, yang kemarin hampir
setiap hari aku lihat perdebatan politik para netizen di media sosial.
Untungnya dan seharusnya perdebatan tak menambah ilmu dan
makna itu telah usai setelah tanggal 17 april 2019 yang selama ini aku nanti –
natikan, ternyata tak dating juga hadeeh. Oh iya kalian tidak golput kan
kemarin? Golput juga ga papa sih. 😁
Bahkan setelah hari pencoblosan telah berlalu, perdebatan
siapa yang harus menang dan kenapa malah makin menjadi – jadi. Mungkin orang –
orang yang ubun – ubunnya panas ini telah mengeluarkan pundi – pundi rupiah
dari uang pribadi dan bukannya uang negara kali ya, sehingga mereka jadi pusing
tujuh keliling melihat hasil quick count tidak memihak mereka. Yang menambah
muak lagi adalah sikap rakyat biasa yang tak kecipratan apa – apa dari pesta
“demokrasi?” ini yang seperti cacing kepanasan membela junjunganya.
Harusnya kan, bagi kita ini yang bukan pengurus partai,
caleg, capres dan cawapres, timses, dan sebagainya yang kecipratan rupiah dari
pesta demokrasi, tunjukan bahwa kita rakyat yang baik. Dengan apa? Dengan
memaksimalkan usaha baik untuk memenuhi kewajiban kita sebagai warga negara.
Udah itu aja.
Tapi kan kalau kita salah memilih pemimpin yang ada kita
akan di dzalimi.
Konsep dzalim macam apa yang kau katakan itu Paijo?
Kelaparan? Saya sendiri pernah tidak makan empat hari karena
tidak ada uang, apakah negara hadir disaat kesusahan itu, TIDAK! Namun saya tak
pernah sekalipun menganggap negara dan pemimpinnya telah dzalim kepadaku. Saya
baru merasa terdzalimi saat Ketua Wakil Rakyat korupsi triliunan rupiah hanya
dihukum seperti maling televisi. Rasa terdzalimi itu tak terobati bahkan dengan
pesta demokrasi kemarin, karena tak ada satu kandidat pun baik caleg dan caeks
yang berjanji untuk merubah konstitusi itu. Maka dari itu saya hanya berfikiran
siapapun pemimpinnya, saya sendiri akan berusaha menjadi rakyat yang selalu
baik.
Kenapa saya tekankan
bahwa keberhasilan negara dalam mengelola sumber dayanya berakar pada adilnya
penguasa mengurusi dalam bidang kehukuman?
Oke, mari kita simak cerita fiksi dari Kahlil Gibran yang berjudul "Paduka Raja yang Bijaksana".
Paduka Raja yang Bijaksana
Rakyat kerajaan Sardik berkumpul mengelilingi istana sambil
meneriakan rasa ketidakpuasan terhadap Sang Raja. Dan raja melangkah keluar
dari istananya dengan mahkota di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri.
Rakyat yang mengetahui kedatangan raja dengan segala kewibawaannya menjadi
terdiam. Sambil menatap seluruh rakyatnya, raja berkata, “Teman – temanku, yang
tidak lagi menjadi rakyatku, kuserahkan mahkota dan tongkat ini pada kalian,
aku akan menjadi salah seorang dari kalian. Aku hanyalah seorang manusia biasa
seperti kalian. Dan sebagai manusia aku akan bekerja bersama kalian untuk
membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. Mulai saat ini kita tidak
memerlukan seorang raja. Mari kita ke sawah dan ladang, bekerja saling membantu.
Tunjukkanlah padaku ladang atau sawah mana aku harus pergi bekerja. Sekarang
kalian semua adalah raja.”
Mendengar kata – kata raja, semua orang tercengang, suasana
menjadi sunyi senyap. Raja yang mereka anggap sebagai sumber permasalahan kini
telah menyerahkan mahkota dan tongkatnya kepada mereka, dan menjadi rakyat
biasa seperti mereka.
Lantas mereka mulai beranjak pergi dan sang raja berjalang
dengan seorang laki – laki menuju ke lading. Namun ternyata tanpa kepemimpinan
seorang raja, Kerajaan Sardik tidak menjadi lebih baik, dan kabut kesengsaraan
tetap menggelayuti mereka. Orang – orang berteriak di pasar dengan satu suara,
“Kita harus punya raja lagi.”
Lalu mereka pergi mencari Sang Raja dan menemukannya sedang
membajak sawah. Mereka membawa Sang Raja kembali ke istana, menduduki
singgasananya, dan mengembalikan mahkota serta tongkat kerajaan.
Mereka berkata, “Sekarang perintahlah kami dengan
kebijaksanaan dan keadilan.” Sang raja berkata, “ Aku akan memerintah kalian
dengan bijak dan semoga dewa di langit dan bumi membantuku, sehingga aku juga
dapat memerintah dengan adil.”
Suatu saat, menghadap beberapa orang, pria dan wanita.
Mereka mengadukan perlakuan majikannya yang menganiaya mereka. Majikan itu
telah memperlakukan mereka sebagai budak. Seketika sang raja memanggil majikam
itu untuk menghadap.
Pada majikan yang dzalim itu raja berkata, “Dalam pandangan
Tuhan, hidup seseorang sama berat dengan hidup orang lain. Dan karena engkau
tidak bisa menilai betapa beratnya kehidupan orang – orang yang bekerja di
sawah dan lading itu, maka engkau harus dihukum. Engkau harus meninggalkan
kerajaan Sardik untuk selama – lamanya.”
Pada hari berikutnya datinglah sekelompok orang yang
mengadukan kekejaman seorang bangsawan wanita yang tinggal di balik bukit.
Wanita itu telah membuat mereka merana dan menderita.
Segera si bangsawan wanita diseret ke pengadilan dan sang
raja menghukumnya. Sang raja berkata, “Mereka yang menggarap sawah dan lading
kita, lebih terhormat daripada kita. Kita memakan roti yang mereka persiapkan
dan minum anggur yang mereka peras. Dan karena kau tidak tahu itu, kau harus
meninggalkan tanahmu dan pergi dari kerajaan ini.”
Lalu datanglah seorang pria dan wanita, mengadukan seorang
pendeta yang telah menyuruh mereka membawa batu – batu ke gereja, tanpa memberi
imbalan. Padahal mereka tahu peti besi pendeta penuh dengan uang emas dan
perak, sedangkan mereka sendiri kelaparan.
Sang raja segera memanggil pendeta itu. Setelah pendeta
bersimpuh dihadapannya, raja berkata, “Tanda salib engkau kenakan di jubahmu
seharusnya mempunyai makna, bahwa engkau siap membaktikan hidup pada setiap
manusia. Tapi engkau telah merenggut kehidupan orang lain tanpa memberi imbalan
apapun. Karena itu engkau harus meninggalkan kerajaan ini dan jangan kembali
lagi.”
Begitulah, setiap hari selalu ada saja orang – orang yang
mengadukan nasib mereka. Dan tiap hari selalu penduharka yang diusir dari
kerajaan. Sehingga rakyat kerajaan Sadik merasakan kedamaian di hati mereka.
Suatu hari rakyat kerajaan Sardik , tua muda, laki – laki
perempuan, dating berhimpun didepan gerbang istana. Mereka memanggil – manggil
sang raja. Maka keluarlah sang raja membawa mahkota di tanngan kanan dan
mahkota di tangan kiri. Raja berseru kepada mereka, “Sekarang apalagi yang akan
kalian tuntut padaku? Lihatlah, akan aku serahkan kembali kepada kalian, apa
yang dulu kalian percayakan kepadaku.”
Namun mereka berteriak, “Tidak, tidak. Kau adalah raja yang
baik. Tuan telah membuat kerajaan menjadi bersih dari para penjahat, dan tuan
telah menyingkirkan serigala – serigala yang menyeringai didepan kami. Kami
dating kemari untuk menyanyikan lagu pujian dan terima kasih untukmu. Mahkota
adalah milikmu dalam segala kemuliaan dan tongkat adalah milikmu dalam segala
kejayaan.
Sang raja berkata. “Teman – teman, bukan aku. Kalian semua
adalah raja. Ketika kalian menganggapku lemah dan tidak bisa memerintah dengan
baik, sebenarnya kalian sendirilah yang lemah dan menyalahgunakan kekuasaan.
Dan sekarang kerajaan menjadi sejahtera itu karena kehendak kalian. Tidak ada
seorang pemimpin pun yang mampu memerintah dengan baik, jika yang dipimpin
tidak mau mengatur dirinya sendiri.”
Selesai berkata, sang raja masuk kembali ke dalam istananya
dengan membawa mahkota dan rasa puas. Muncul keyakinan dalam diri mereka,
bahwa diri mereka adalah seorang raja yang membawa mahkota di tangan kanan dan
tongkat di tangan kiri.
Nah dari karangan fiksi cerita pendek tersebut, kayaknya sih
mewakili benat hati semua orang ya. Kita yang sebagai rakyat biasa menginginkan
keadilan dalam bidang hukum yang terwujud jika ada pemimpin bijak yang siap
mengeksekusi konstitusi tersebut tanpa pandang bulu, mau itu bangsawan, mau itu
petani, law is law.
SALAM INDONESIA DAMAI 😀😊
0 Komentar:
Posting Komentar