Sabtu, 20 April 2019

,

Paduka Raja yang Bijaksana



Apa kabar teman? Pastinya baik – baik saja yaa kan. Rumah kalo kotor dan tak terawat rasanya bikin risih dan bahkan horror ya, seperti blog ini yang tak terawat membuat mata batin ini perih dan penat di kepala.

Setelah beberapa bulan tak ku update blog yang sepi pengunjung ini, akhirnya saya ada waktu, eh bukan waktu sih tapi aku berhasil mengalahkan rasa malasku. Semua kejadian, pemandangan, suasana, dan ironi kehidupan di dunia ini aku tampung pada otakku sendiri yang kapasitasnya tak seberapa dan barang kali beberapa momen menarik sudah hilang dari ingatan. Oleh karena desakan itu pula, mau tidak mau harus ku abadikan melalui coretan fisik maupun digital.

Oke tak perlu lama – lama basa – basi nya. Karena saya adalah warga Indonesia yang baik hati, diantaranya adalah sudah membayar aneka bill untuk negara yang selalu lunas dan berbagai kewajiban yang harus dijalani, jadi jangan ngejudge siapa yang paling Indonesia ya.

Loh itu yang akan dibahas? Kok berat ya topiknya?

Bukan itu kok yang akan dibahas dan lagi kalo dibahas itu bukan topik yang berat juga kok, setelah ribuan tahun kita ber – manusia masih menganggap kebangsaan adalah hal yang berat untuk dibahas? Kalau politik iya, karena perdebatan itu tak akan ada ujungnya semakin di gosok semakin mengangkat gairah nafsu yang lebih besar. Maka kesampingkanlah hal kebangsaan dari perpolitikan, maka tak bakal ada yang berkata “Saya Lebih Indonesia”. Menurut hemat saya warga Indonesia adalah mereka yang menunaikan kewajibannya sebagai warga negara dan mentaati peraturan yang telah disepakati.

Namun negara tak berhak untuk mengekang pikiran manusia dalam bereksplorasi dan berekspresi dalam menemukan jati diri masing – masing individu. Sayangnya beberapa kelompok menekankan konsep kebangsaan dengan sikap yang militant dan tak toleran. Apa salahnya sih belajar niaga dengan konsep tiongkok? Belajar disiplin dengan konsep Jerman People? Belajar gigih dengan konsep orang Jepang? Belajar ikhlas dengan konsep Middle East People? Belajar rendah hati dengan konsep orang Pakistan? Belajar hidup sederhana dengan konsep orang papua? Belajar ramah tamah dengan konsep orang jawa? Dan sebagainya. Adakah hal tersebut akan merusak tatanan hidup bangsa Indonesia?

Itulah beberapa pertanyaan yang sering terngiang dalam pikir yang belum ku temukan jawabannya.
Kamu itu sahabat gurun, kamu itu antek cina, dan lain – lain. Saya sangat risih dengan perkataan – perkataan itu, yang kemarin hampir setiap hari aku lihat perdebatan politik para netizen di media sosial.

Untungnya dan seharusnya perdebatan tak menambah ilmu dan makna itu telah usai setelah tanggal 17 april 2019 yang selama ini aku nanti – natikan, ternyata tak dating juga hadeeh. Oh iya kalian tidak golput kan kemarin? Golput juga ga papa sih. 😁

Bahkan setelah hari pencoblosan telah berlalu, perdebatan siapa yang harus menang dan kenapa malah makin menjadi – jadi. Mungkin orang – orang yang ubun – ubunnya panas ini telah mengeluarkan pundi – pundi rupiah dari uang pribadi dan bukannya uang negara kali ya, sehingga mereka jadi pusing tujuh keliling melihat hasil quick count tidak memihak mereka. Yang menambah muak lagi adalah sikap rakyat biasa yang tak kecipratan apa – apa dari pesta “demokrasi?” ini yang seperti cacing kepanasan membela junjunganya.

Harusnya kan, bagi kita ini yang bukan pengurus partai, caleg, capres dan cawapres, timses, dan sebagainya yang kecipratan rupiah dari pesta demokrasi, tunjukan bahwa kita rakyat yang baik. Dengan apa? Dengan memaksimalkan usaha baik untuk memenuhi kewajiban kita sebagai warga negara. Udah itu aja.

Tapi kan kalau kita salah memilih pemimpin yang ada kita akan di dzalimi.

Konsep dzalim macam apa yang kau katakan itu Paijo?

Kelaparan? Saya sendiri pernah tidak makan empat hari karena tidak ada uang, apakah negara hadir disaat kesusahan itu, TIDAK! Namun saya tak pernah sekalipun menganggap negara dan pemimpinnya telah dzalim kepadaku. Saya baru merasa terdzalimi saat Ketua Wakil Rakyat korupsi triliunan rupiah hanya dihukum seperti maling televisi. Rasa terdzalimi itu tak terobati bahkan dengan pesta demokrasi kemarin, karena tak ada satu kandidat pun baik caleg dan caeks yang berjanji untuk merubah konstitusi itu. Maka dari itu saya hanya berfikiran siapapun pemimpinnya, saya sendiri akan berusaha menjadi rakyat yang selalu baik.

 Kenapa saya tekankan bahwa keberhasilan negara dalam mengelola sumber dayanya berakar pada adilnya penguasa mengurusi dalam bidang kehukuman?

Oke, mari kita simak cerita fiksi dari Kahlil Gibran yang berjudul "Paduka Raja yang Bijaksana".

Paduka Raja yang Bijaksana


Rakyat kerajaan Sardik berkumpul mengelilingi istana sambil meneriakan rasa ketidakpuasan terhadap Sang Raja. Dan raja melangkah keluar dari istananya dengan mahkota di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri. Rakyat yang mengetahui kedatangan raja dengan segala kewibawaannya menjadi terdiam. Sambil menatap seluruh rakyatnya, raja berkata, “Teman – temanku, yang tidak lagi menjadi rakyatku, kuserahkan mahkota dan tongkat ini pada kalian, aku akan menjadi salah seorang dari kalian. Aku hanyalah seorang manusia biasa seperti kalian. Dan sebagai manusia aku akan bekerja bersama kalian untuk membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. Mulai saat ini kita tidak memerlukan seorang raja. Mari kita ke sawah dan ladang, bekerja saling membantu. Tunjukkanlah padaku ladang atau sawah mana aku harus pergi bekerja. Sekarang kalian semua adalah raja.”

Mendengar kata – kata raja, semua orang tercengang, suasana menjadi sunyi senyap. Raja yang mereka anggap sebagai sumber permasalahan kini telah menyerahkan mahkota dan tongkatnya kepada mereka, dan menjadi rakyat biasa seperti mereka.

Lantas mereka mulai beranjak pergi dan sang raja berjalang dengan seorang laki – laki menuju ke lading. Namun ternyata tanpa kepemimpinan seorang raja, Kerajaan Sardik tidak menjadi lebih baik, dan kabut kesengsaraan tetap menggelayuti mereka. Orang – orang berteriak di pasar dengan satu suara, “Kita harus punya raja lagi.”

Lalu mereka pergi mencari Sang Raja dan menemukannya sedang membajak sawah. Mereka membawa Sang Raja kembali ke istana, menduduki singgasananya, dan mengembalikan mahkota serta tongkat kerajaan.

Mereka berkata, “Sekarang perintahlah kami dengan kebijaksanaan dan keadilan.” Sang raja berkata, “ Aku akan memerintah kalian dengan bijak dan semoga dewa di langit dan bumi membantuku, sehingga aku juga dapat memerintah dengan adil.”

Suatu saat, menghadap beberapa orang, pria dan wanita. Mereka mengadukan perlakuan majikannya yang menganiaya mereka. Majikan itu telah memperlakukan mereka sebagai budak. Seketika sang raja memanggil majikam itu untuk menghadap.

Pada majikan yang dzalim itu raja berkata, “Dalam pandangan Tuhan, hidup seseorang sama berat dengan hidup orang lain. Dan karena engkau tidak bisa menilai betapa beratnya kehidupan orang – orang yang bekerja di sawah dan lading itu, maka engkau harus dihukum. Engkau harus meninggalkan kerajaan Sardik untuk selama – lamanya.”

Pada hari berikutnya datinglah sekelompok orang yang mengadukan kekejaman seorang bangsawan wanita yang tinggal di balik bukit. Wanita itu telah membuat mereka merana dan menderita.
Segera si bangsawan wanita diseret ke pengadilan dan sang raja menghukumnya. Sang raja berkata, “Mereka yang menggarap sawah dan lading kita, lebih terhormat daripada kita. Kita memakan roti yang mereka persiapkan dan minum anggur yang mereka peras. Dan karena kau tidak tahu itu, kau harus meninggalkan tanahmu dan pergi dari kerajaan ini.”

Lalu datanglah seorang pria dan wanita, mengadukan seorang pendeta yang telah menyuruh mereka membawa batu – batu ke gereja, tanpa memberi imbalan. Padahal mereka tahu peti besi pendeta penuh dengan uang emas dan perak, sedangkan mereka sendiri kelaparan.

Sang raja segera memanggil pendeta itu. Setelah pendeta bersimpuh dihadapannya, raja berkata, “Tanda salib engkau kenakan di jubahmu seharusnya mempunyai makna, bahwa engkau siap membaktikan hidup pada setiap manusia. Tapi engkau telah merenggut kehidupan orang lain tanpa memberi imbalan apapun. Karena itu engkau harus meninggalkan kerajaan ini dan jangan kembali lagi.”

Begitulah, setiap hari selalu ada saja orang – orang yang mengadukan nasib mereka. Dan tiap hari selalu penduharka yang diusir dari kerajaan. Sehingga rakyat kerajaan Sadik merasakan kedamaian di hati mereka.

Suatu hari rakyat kerajaan Sardik , tua muda, laki – laki perempuan, dating berhimpun didepan gerbang istana. Mereka memanggil – manggil sang raja. Maka keluarlah sang raja membawa mahkota di tanngan kanan dan mahkota di tangan kiri. Raja berseru kepada mereka, “Sekarang apalagi yang akan kalian tuntut padaku? Lihatlah, akan aku serahkan kembali kepada kalian, apa yang dulu kalian percayakan kepadaku.”

Namun mereka berteriak, “Tidak, tidak. Kau adalah raja yang baik. Tuan telah membuat kerajaan menjadi bersih dari para penjahat, dan tuan telah menyingkirkan serigala – serigala yang menyeringai didepan kami. Kami dating kemari untuk menyanyikan lagu pujian dan terima kasih untukmu. Mahkota adalah milikmu dalam segala kemuliaan dan tongkat adalah milikmu dalam segala kejayaan.

Sang raja berkata. “Teman – teman, bukan aku. Kalian semua adalah raja. Ketika kalian menganggapku lemah dan tidak bisa memerintah dengan baik, sebenarnya kalian sendirilah yang lemah dan menyalahgunakan kekuasaan. Dan sekarang kerajaan menjadi sejahtera itu karena kehendak kalian. Tidak ada seorang pemimpin pun yang mampu memerintah dengan baik, jika yang dipimpin tidak mau mengatur dirinya sendiri.”

Selesai berkata, sang raja masuk kembali ke dalam istananya dengan membawa mahkota dan rasa puas. Muncul keyakinan dalam diri mereka, bahwa diri mereka adalah seorang raja yang membawa mahkota di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri.

Nah dari karangan fiksi cerita pendek tersebut, kayaknya sih mewakili benat hati semua orang ya. Kita yang sebagai rakyat biasa menginginkan keadilan dalam bidang hukum yang terwujud jika ada pemimpin bijak yang siap mengeksekusi konstitusi tersebut tanpa pandang bulu, mau itu bangsawan, mau itu petani, law is law.


SALAM INDONESIA DAMAI 😀😊



0 Komentar:

Posting Komentar