illustrasi suasana malam - shutterstock.com |
“Saat seperti ini
biasanya kami menonton hiburan keluarga bersama – sama, terkadang nenekmu
terlambat mempersiapkan makan malam, jadi kakek sering kali kerap membantu
nenek memasak, istilahnya membantu memasak hahaha”. Ayah tertawa bahagia setiap
menyeritakan kenangan dengan kedua orang tuanya yang juga adalah kakek nenekku.
Terbesit tanya dalam
diriku kenapa ia tertawa dengan hal yang sama sekali tidak ada sedikitpun unsur
kelucuan dalam cerita itu.
Kemudian ayah
melanjutkan ceramahnya “Kakek mu tak pernah sedikitpun membantu memasak secara
benar, yang kulihat dia hanya bercanda dengan nenekmu dan beberapa kali
mencicipi masakan saat dimasak bahkan terkadang bahan makanannya yang belum ia
olah terus memenuhi mulutnya, namun nenekmu selalu memberi nasihat kepadaku
bahwa jadilah anak laki – laki seperti ayahmu”.
Ayah menyeruput susu
panasnya, aku pun khusyuk mendengarkan cerita tersebut sembari menelan sesendok
demi sesendok bubur hangat dan telur rebus buatan ayah, tak lupa suasana hangat
didepan tungku dengan kayu bakar yang masih menyala.
Sekali dua tegukan susu
panas sudah meluncur ke perut ayah, kemudian ayah mulai membuka mulut kembali “pada
saat itu, ayah dan Paman Wirya tidak terlalu suka dengan kakekmu, bahkan saat
nenekmu memberi nasehat untuk jadi seperti kakekmu langsung ayah bantah, “ayah
itu kejam”, tapi ibu menanggapinya hanya dengan senyuman”
“Memangnya kakek kejam
yah? Berbanding terbalik dengan cerita Paman Wirya”.
“Kakekmu, selalu
menghukum berat ayah jika terlalu sering membuang waktu, seperti bermain
permainan digital, menonton video, dan bergaul dengan teman yang tidak baik.
Semua teman ayah hampir semua melakukan hal yang sama, sampai saat di sekolah, pernah ayah menceritakan apa yang terjadi pada ayah saat malam hari, mereka
semua tertawa dan mengejek bahwa nasib ayah terlalu jelek, mempunyai seorang ayah
yang kejam, begitu juga dengan Pamanmu Wirya”. Ayah menghentikan ceritanya, dan
sedikit terlihat keluar air mata yang dengan cepat ia usap.
Tapi, ekpresi muka
tersebut adalah muka bahagia bukan sebuah kemarahan. Setelah beberapa seruputan
susu hangat, ayah melanjutkan ceritanya “Ayah bercerita kepada semua teman
sekelas, mereka tertawa karena ternyata hanya ayah yang mengalami nasib sial,
terkadang ayah diikat di dekat tangga rumah, terkadang ayah digantung di tali
jemuran. Tentu ayah meronta tak terima dan menangis, namun kakekmu tak
bergeming dan hanya memandang serius buku ditangannya, sesekali meliriku
mungkin agar ayah tak melakukan hal nekat, hanya satu malaikat yang selalu
menolong ayah yakni nenekmu yang tak tahan dengan jeritanku”.
“Setiap kali ayah
diselamatkan oleh nenekmu, kakekmu selalu berkata Hindan jika kamu ulangi lagi
aku tambah waktu hukumanmu”.
Aku meletakkan mangkok
yang sudah tidak ada isinya lagi, bubur lezat semuanya kulahap. “enak buburnya
Yan?” Tanya ayah. Aku jawab dengan anggukan dan senyuman. Kemudian dia
menyodorkan gelas penuh dengan susu
hangat. Kuminum perlahan – lahan. Setelah puas merasakan nikmat duniawi, aku
menanggapi cerita ayah tersebut, “Kalo seperti itu apa bedanya ayahku dengan
kakekku?”
Ayah tersenyum “Kamu
lah bedanya, ayah memandang kakekmu itu jahat nan kejam karena dia yang selalu
teguh akan kebenaran dan kebaikan. Memang tak lazim, anak – anak diperlakukan
seperti itu dulu di zaman ayah. Ayah merasa menjadi anak paling tidak beruntung
karena sikap ayah yang melampaui batas dengan membatasi setiap kesenanganku.
Untung saja ada malaikat yakni nenekmu”
“Terpaksa ayah turuti
kemauan kakekmu karena takut dihukum, setiap melanggar aturannya hukuman menjadi
semakin berat. Tapi untung saja kakek tetap tahu akan hak anak untuk bermain
dengan batasan ala kakek tentunya. Hari ke hari ayah turuti kemauannya, mulai
pudar sosok kejam nan jahat itu”.
“Kakek sudah tidak
menghukum lagi?” aku potong cerita ayah.
“Tidak, dia tetap
menghukum anaknya yang bersalah. Tapi karena ayah sudah jarang melanggar
aturannya, jadi jarang kena hukuman haha”. Dia tertawa sambil mengelus
punggungku.
“Sampai ayahmu ini
berumur delapan belas tahun tepat pada hari ulang tahun ayah. Kakekmu memberikan
hadiah terbaik sepanjang hidup ayah”.
Aku semakin tertarik
dengan cerita ayah karena kulihat juga bahwa wajahnya semakin bahagia saat
menceritakan pada bagian tersebut.
“Kakek memberikan
hadiah berupa pelukan hangat dan ciuman sembari berkata, maafkan ayahmu ini
Hindan, yang telah membuatmu menderita dan mengekangmu sehingga tak seperti
anak – anak lainnya. Sekarang kamu bebas bertindak sesuai keinginanmu dan
memilih jalanmu sendiri tanpa ada takut bahwa ayahmu ini akan menghukum kamu”.
Lanjut ayah menceritakan momen berharga dalam hidupnya.
“Tentu ayah sudah tahu
maksud perkataan kakekmu tersebut, tak ada kesalahan sedikitpun dari kakekmu
dalam mengajarkan kebaikan dan kebenaran sejak ayah kecil walaupun itu keras.
Karena apa? Karena ayah menjadi terbiasa melakukan hal – hal baik meskipun
awalnya ayah melakukannya karena takut dari hukuman kakekmu tapi lama – lama
sifat baik tersebut mendarah daging dalam diri ayah. Seharusnya ayahlah yang
selalu meminta maaf karena ayah selalu berbuat yang membuat kakekmu marah, tapi
karena jarang sekali kakekmu meminta maaf jadi kunikmati momen tersebut haha”.
Ayah tertawa lebar.
Aku tidak paham benar
dengan ucapan ayah tersebut, tapi aku selalu tertarik dengan kehidupan masa
kanak – kanak ayah yang penuh dengan berbagai alat main dan sering membuat ia
terkena murka Sang Kakek. Walaupun aku sudah kenyang, tapi tak akan kulewatkan pisang
bakar yang hampir matang. Sembari menunggu, aku bertanya “yah, video itu apa? Sama
dengan peragaan boneka dari Kang Amir?”
Ayah tersenyum dan
berkata “itulah tadi kenapa aku bilang, kamu berbeda dari ayah. Ayah hidup
dimasa yang apabila anak kecil manapun melihatnya pasti ingin bertukar tempat. Bisa
dibilang surganya anak – anak, dimanapun kami bisa bermain dengan alat canggih.
Berhubungan dengan orang jauh tanpa harus menuju ke tempatnya dan tak ada lagi
sosok seperti Kang Amir. Kamu pernah dipukul dia kan? Kamu menganggapnya kejam?”
“Tidak yah, Daru dan
Iwan juga dipukul karena kami memang tidak hafal bacaan shalat”.
“Bagus, nanti kalo
sampai ada keluhan dari Kang Amir ke ayah lagi, tiga hari berturut – turut kamu
tidak akan minum susu”. Tanggap ayah.
Aku hanya diam dan
mengiyakannya, toh juga tidak bisa bohong karena Kang Amir selalu bercerita ke
orang tua anak – anak yang belajar dengannya tentang perilaku kami semua.
“Di masa ayah, orang
seperti Kang Amir ini yang malah akan dihukum. Untung saja ayah masih memiliki
Kakekmu yang kejam itu, sehingga ayah tahu bahwa dunia bukanlah surga”.
Lalu dia mengambil
mangkok kosong yang telah kupakai dan berkata “pisangnya sudah matang bisa kamu
angkat dan makan, setelah itu cuci kaki dan beranjak tidur”.
Masa depan ^_^
BalasHapusmampir gan www.doublege.ml
yang suram? wkwkwk makasih dah berkunjung
Hapus