Sejarah Kelam Persaingan Kopi Toraja

Pada saat awal ditemukan di Toraja tahun 1868 oleh Belanda, komoditas ini diberi julukan Emas Hitam dari Toraja. Semenjak saat itu masyrakat khususnya Kerajaan Bone menyadari akan nilai kopi. Akibatnya terjadi persaingan dan konspirasi dagang antara saudagar dan Raja-Raja Sulawesi Selatan.

Prajurit Maranding

Kerajaan Bone dan Ajatappareng bersaing untuk menguasai daerah perdagaang yang menghasilkan banyak pajak tersebut terutama dari kopi yang pada saat itu sebagai komoditi mahal internasional. Dengan kekuatan senjata kedua pesaing masing-masing membangun kubu dengan kelompok masyarakat di Toraja : a. Sidenreng dan Soppeng dengan Puang Tarongko di daerah Tana Toraja. b. Luwu dan Bone dengan Danduru dan Pong Maramba di daerah Toraja Utara Adapun jalur perdagangan pada masa persaingan kedua kubu pedagang asal Bugis tersebut, terbentuk 2 jalur perdagangan kopi : a. Jalur Barat : Pangala – Dende Piongan Kurra ke Pasar Rantetayo ke Pelabuhan Pare-pare b. Jalur Timur : Sa’dan – Balusu, Sesean ke Kalambe/Rantepao dan Rantebua ke Pelabuhan Bua di Palopo

Akibat persaingan dagang yang berkembang dan banyaknya koalisi-koalisi yang terbentuk. Pada saat itu kopi bisa ditukar dengan senjata akibat dari nafsu untuk saling menguasai, menimbulkan perang wilayah adat yg berkepanjangan.

Perang saudara yg sudah berlangsung lama baru berhenti ketika beberapa pemimpin wilayah adat di Tondok Lepongan bulan (Toraja) mengikrarkan persatuan dalam menghadapi kolonial Belanda yang akan datang menduduki Tondok Lepongan Bulan , yang terlebih dulu menduduki wilayah Luwu.

Terlihat kopi yang sedang dijemur didepan rumah adat

Kopi di Toraja juga mengubah adat istiadat mereka. Kopi dipakai sebagai alat komunikasi masyarakat Toraja. Kopi dipakai sebagai suguhan diwaktu pagi dan pada saat bermain judi di malam hari dan pertemuan adat. Setiap kunjungan ke rumah keluarga Toraja, kopi adalah alat komunikasi yang pertama disuguhkan. Pada saat gula belum dikenal maka garam dijadikan sebagai pengganti gula.